Rabu, 02 September 2015

Cerpen ku Kaos Merah


Kaos Merah

            Sore itu, hujan lebat turun dengan menggebu-gebu. Aku cuwek aja didalam kamar sambil membaca buku pelajaran ku. Mata ku yang mulai mengantuk dikejutkan dengan cahaya lampu ku yang padam. Aku masih santai saja dengan kondisi itu. Bagiku ini ketenangan tersendiri, bias menikmati suara hujan diatas kasur empuk dan berguling coklat.

            Aku terus saja mendayu-dayu dalam keheningan senja itu. Ku pandangi segala hiasan yang ada di dalam kamar ku, termasuk boneka merah beruang ku. Semakin ku tatap boneka itu, aku teringat gadis berkaos merah yang kemarin duduk di pinggir trotoar dekat gerbang sekolah ku. Tanganya yang cekatan itu mengoyak sampah, memilah dan memasukkanya kedalam karung yang ia bawa. Aku ingat betul wajah gadis itu, penuh harap dalam senyumnya. Kaos merahnya itu menandakan bahwa ia punya semangat membara dalam jiwanya.

            Entah apa yang ku fikirkan. Aku ingin tau gadis itu lebih dalam. “Besok pagi aku akan datang ke sekolah lebih awal” ujarku dalam hati. Mungkin itu salah satu cara untuk mengisi tanda tanya ku kali ini. Pagi buta aku berangkat, beruntung aku melihat kaos merah itu di empat pembuangan sampah milik sekolah ku. Aku berpura-pura duduk di bawah pohon dengan membaca buku, padahal aku mengamati gadis itu dari jauh. Barangkali saja kalau gads itu tahu malah pergi. Aku terus memandanginya, semakin lama melihat gerak-geriknya semakin membuatku ingin menghampirinya. Ku beranikan diri untuk mendekat dan mngintrogasinya.

“Hei dhe.. sedang apa?” Tanya ku penuh senyum

“sedang mencari kepingan rupiah ka,” membalasnya dengan senyum pula. Aku makin penasaran dengn gadis itu. “nama adhe siapa?” entah kenapa aku ingin mengetahuinya lebih dalam.

“Sita,” jawabnya dengan polos. Aku terus menanyakan latar belakang kenapa gadis itu terus mengorak ark sampah skolah.

            Ku tanyakan segala jenis pertanyaan yang aku sudah siapkan dari kemarin. Satu per satu Sita menjawab pertanyaan ku dengan penuh kejelasan. Akhirnya aku mengerti juga, ternyata Sita itu teman sekelasnya yang sedang belajar menjadi pemulung untuk perlombanya di tingkat Provinsi. Aku tidak menyangka, belajar berteater itu ternyata memerlukan kerj keras yang tinggi bila ingin mendapatkan hasil yang diinginkan. Menurutnya, dengan praktik langsung itu, ia dapat mengetahui dan merasakan bagaimana dalam menjadi seorang pemulung itu. Memang benar-benar butuh pendalaman karakter bila ingin menjadi pemain teater yang hebat.

            Ku langkahkan kaki ku untuk meninggalkan tempat gadis kaos merah itu. Segera aku masuk kelas karena jam pelajaran lima menit lagi dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar