Kabar Duka Kain Putih
Karya : Fina Siliyya
Rani memang sangat dekat dengan neneknya. Kedekatan
itu tergambarkan di setiap sore yang menggelegarkan gelak tawa diantara mereka.
Walaupun Rani dan Nenek berbeda rumah, jarak satu kilo meter itu Rani tempuh
demi bisa tidur bersama perempuan tua itu. Rani sadar Nenek sudah semakin
lemah. Itulah mengapa Rani ingin menemani di kala sulit Nenek untuk menghibur
dan membantu.
Desa sejuk masih berselimutkan pohon-pohon nan hijau
memang indah. Disela-sela pohon, warna-warni bunga tersenyum dengan riangnya.
Penduduk saling berjabat tangan dan mngucapkan salam saat berpapasan. Budaya
musyawarah kerap kali dijumpai, seperti halnya dirumah Rani sekarang. Keluarga
besar berkumpul, berbicara satu persatu tanpa menyela perkataan yang terucap.
Penyakit tua itu semakin menggerogoti
tubuh Nenek. Mereka sepakat untuk merawat Nenek secara bergantian.
Keesokan harinya, Rani meminta izin kepada Ibu untuk
menginap di rumah neneknya. Ibu diam dan berpikir panjang. Setelah menghela
nafas, Ibu berkata
“Rani, sudahlah. Kau tidur dirumah saja. Disana udah
ada bu likmu yang menjaga Nenek” ucapnya dengan halus.
“Aku ingin bersama Nenek Bu, kasian Nenek” suara Rani
dengan nada memohon
“Ibu tau Rani, tapi barang kali saja itu malah membuat
repot Nenek dan Bu Lik disana. Kau boleh ikut bersama ibu dimalam Minggu,”
menghibur Rani. Rani mengangguk. lima hari merupakan waktu yang lama bagi Rani
untuk menghitungnya. Bukan apa-apa, dua hari setara dengan empat ratus tiga
puluh dua ribu detik. Kekhawatiran Rani semakin menjadi. Desas desus sakit
Nenek yang semakin parah terdengar di telinga Rani.
Kamis siang, Rani pulang dari sekolah dengan keadaan
yang gelisah. Entah apa yang dipikirkan gadis sebelas tahun itu. Ia duduk di
ranjang sambil mengistirahatkan kaki yang habis berjalan dari bangku belajar
kerumah. Terdengarlah motor berhenti di depan rumahnya.
“Assalamualaikum…” dengan nada yang paik dan cepat.
“Waalaikumussalam..” Rani menjawab salam dan keluar.
“Eh Bu Lik, masuk Bu Lik..”
“Ayah dan Ibu mu mana Ran? nafas Nenek rasanya sudah
semakin berat” kata Bu Lik.
“lagi di musola Bu Lik, sebentar aku panggilkan dulu
yah, bu Lik duduk dulu.” Jawab ku dengan
sigap.
“tidak Rani, Bu Lik pulang dulu yah kerumah Nenek.
Nanti ayah ibumu sebaiknya segera kerumah Nenek.” Bu Lik keluar pintu dan
meninggalkan rumah Rani
Kepulangan ayah dan ibu dari musola sugguh Rani
tunggu. Segera Rani ceritakan pesan dari Bu Lik untuk ayah dan ibu. Ayah dan
Ibu lantas bergegas pergi ke rumah Nenek.
Rani, kakak dan adiknya segera ganti pakean dan menyusul orang tua
mereka. Tiba di tempat, mereka dikejutkan dengan kerumunan penduduk yang
bergantian mauk ke pintu rumah Nenek. Dengan langkah pasti, mereka masuk lewat
pintu belakang. Rumah itu sudah penuh dengan keluarga besar Rani. Rani
menyaksikan jasad terakhir Nenek dengan penuh kesedihan. Ibu memeluk Rani
dengan penuh kehangatan. Sungguh aneh bagi Rani, menurutnya neneknya itu sedang
tidur dan bagaikan sedang tidur. Rani menggoyang-goyangkan tubuh Nenek dengan
tanganya. “Nek… Bangun Nek..” ucapnya semakin keras dan histeris.
Ayah dan sanak keluarga segera menyiapkan segala
keperluan. Ayah kebagian memandikan, ibu kebagian memakaikan kain putih. Rani
dan sanak saudara yang seumuran kebagian membuat karangan bunga untuk di taruh
di pemakaman. Semua sudah selesai mengerjakan tugas masing-masing. Mereka semua
membawa Nenek ke pusara setelah di shalatkan.
Berjalan beriringan seperti berbaris dalam paskibra
dua banjar. Rani berada di barisan depan, agar dapat menyaksikan detik-detik
kembalinya nenek ke bumi dengan jelas. Selesai menguburkan, diadakan pengajian
dan tahlil setiap ba’da isya berturu-turut selama empat puluh hari. Rani dan
keluarga berdo’a dengan khusyu untuk kebaikan Nenek di sisi Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar