Sabtu, 05 September 2015

cerpen Kabar Duka Kain Putih


Kabar Duka Kain Putih

Karya : Fina Siliyya



Rani memang sangat dekat dengan neneknya. Kedekatan itu tergambarkan di setiap sore yang menggelegarkan gelak tawa diantara mereka. Walaupun Rani dan Nenek berbeda rumah, jarak satu kilo meter itu Rani tempuh demi bisa tidur bersama perempuan tua itu. Rani sadar Nenek sudah semakin lemah. Itulah mengapa Rani ingin menemani di kala sulit Nenek untuk menghibur dan membantu.

Desa sejuk masih berselimutkan pohon-pohon nan hijau memang indah. Disela-sela pohon, warna-warni bunga tersenyum dengan riangnya. Penduduk saling berjabat tangan dan mngucapkan salam saat berpapasan. Budaya musyawarah kerap kali dijumpai, seperti halnya dirumah Rani sekarang. Keluarga besar berkumpul, berbicara satu persatu tanpa menyela perkataan yang terucap. Penyakit tua itu semakin  menggerogoti tubuh Nenek. Mereka sepakat untuk merawat Nenek secara bergantian.

Keesokan harinya, Rani meminta izin kepada Ibu untuk menginap di rumah neneknya. Ibu diam dan berpikir panjang. Setelah menghela nafas, Ibu berkata

“Rani, sudahlah. Kau tidur dirumah saja. Disana udah ada bu likmu yang menjaga Nenek” ucapnya dengan halus.

“Aku ingin bersama Nenek Bu, kasian Nenek” suara Rani dengan nada memohon

“Ibu tau Rani, tapi barang kali saja itu malah membuat repot Nenek dan Bu Lik disana. Kau boleh ikut bersama ibu dimalam Minggu,” menghibur Rani. Rani mengangguk. lima hari merupakan waktu yang lama bagi Rani untuk menghitungnya. Bukan apa-apa, dua hari setara dengan empat ratus tiga puluh dua ribu detik. Kekhawatiran Rani semakin menjadi. Desas desus sakit Nenek yang semakin parah terdengar di telinga Rani.

Kamis siang, Rani pulang dari sekolah dengan keadaan yang gelisah. Entah apa yang dipikirkan gadis sebelas tahun itu. Ia duduk di ranjang sambil mengistirahatkan kaki yang habis berjalan dari bangku belajar kerumah. Terdengarlah motor berhenti di depan rumahnya.

“Assalamualaikum…” dengan nada yang paik dan cepat.

“Waalaikumussalam..” Rani menjawab salam dan keluar. “Eh Bu Lik, masuk Bu Lik..”

“Ayah dan Ibu mu mana Ran? nafas Nenek rasanya sudah semakin berat” kata Bu Lik.

“lagi di musola Bu Lik, sebentar aku panggilkan dulu yah, bu Lik  duduk dulu.” Jawab ku dengan sigap.

“tidak Rani, Bu Lik pulang dulu yah kerumah Nenek. Nanti ayah ibumu sebaiknya segera kerumah Nenek.” Bu Lik keluar pintu dan meninggalkan rumah Rani

Kepulangan ayah dan ibu dari musola sugguh Rani tunggu. Segera Rani ceritakan pesan dari Bu Lik untuk ayah dan ibu. Ayah dan Ibu lantas bergegas pergi ke rumah Nenek.  Rani, kakak dan adiknya segera ganti pakean dan menyusul orang tua mereka. Tiba di tempat, mereka dikejutkan dengan kerumunan penduduk yang bergantian mauk ke pintu rumah Nenek. Dengan langkah pasti, mereka masuk lewat pintu belakang. Rumah itu sudah penuh dengan keluarga besar Rani. Rani menyaksikan jasad terakhir Nenek dengan penuh kesedihan. Ibu memeluk Rani dengan penuh kehangatan. Sungguh aneh bagi Rani, menurutnya neneknya itu sedang tidur dan bagaikan sedang tidur. Rani menggoyang-goyangkan tubuh Nenek dengan tanganya. “Nek… Bangun Nek..” ucapnya semakin keras dan histeris.

Ayah dan sanak keluarga segera menyiapkan segala keperluan. Ayah kebagian memandikan, ibu kebagian memakaikan kain putih. Rani dan sanak saudara yang seumuran kebagian membuat karangan bunga untuk di taruh di pemakaman. Semua sudah selesai mengerjakan tugas masing-masing. Mereka semua membawa Nenek ke pusara setelah di shalatkan.

Berjalan beriringan seperti berbaris dalam paskibra dua banjar. Rani berada di barisan depan, agar dapat menyaksikan detik-detik kembalinya nenek ke bumi dengan jelas. Selesai menguburkan, diadakan pengajian dan tahlil setiap ba’da isya berturu-turut selama empat puluh hari. Rani dan keluarga berdo’a dengan khusyu untuk kebaikan Nenek di sisi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar