Senin, 26 Oktober 2015

Cerpen, Syukur


Syukur
                                          By : Fina Siliyya


            Setiap insan memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkan rasa terima kasihnya kepada Sang Pencipta. Penerapan syukur setiap insan juga berbeda, yakni bergantung dengan segi pemahaman tentang arti syukur itu sendiri. Kerja keras dalam hidup merupakan salah satu bentuk syukur yang harus dimiliki oleh setiap jiwa yang mempunyai mimpi hidup.

            Desa yang kumuh tempat anak-anak jalanan singgah masih banyak ditemui di negeri ini. Negeri yang miskin akibat bejatnya kelakuan mereka yang kufur atas segala yang dimiliki menjadi penyebab utama. Lelantungan para pejalan berbaju tidak layak pakai mewarnai jalanan. Duduk dengan berlenggak-lenggok memegang kaleng, sibuk bernyanyi dengan kantung plastik, hingga ada yang berlarian dengan diikuti kelompok orang. Mereka semua bukanlah artis. Mungkin mereka adalah beberapa contoh korban kekufuran dalam hidup .

            Tidak banyak mereka yang masih mengalami kebutaan huruf. Sekolah dianggap tidak terlalu penting. Rata-rata mereka berfikir lebih baik bekerja mencari uang dari pada sekolah membuang uang. Sedikit yang berfikir diantara mereka bahwa dengan bersekolah dapat mengubah nasib di masa yang akan datang.

Lelaki bertubuh tinggi kurus terbalutkan kain kumal masih enggan menghentikan gerak tangan yang sedang memegang arit dan dedaunan hijau dengan ranting muda.  Sepoian angin menyisir rambut lelaki itu dan dihiraukannya pula sengatan matahari yang tepat berada diatas kepala. Amir dengan cekatan memasukkan daun-daun yang telah dipotongnya kedalam karung putih yang ia bawa. Sebelum tiga karung terisi penuh pakan kambing Amir tidak akan menghentikan ayunan aritnya. Pakan ternak itu nantinya hendak ditukarkan kepada tetangga yang mempunyai ternak kambing dengan lembaran lima ribu rupiah perkarungnya. Kondisi ini sudah biasa dilakoni Amir setelah pulang sekolah sejak kelas empat sekolah dasar. Lelaki tujuh belas tahun berhidung mancung ini selalu sibuk. Setiap selesai melakukan suatu pekerjaan ia akan mengerjakan pekerjaan yang lain hingga bulan memanggilnya untuk memejamkan mata.

            Bagi keluarga Amir, nafas tidak boleh disia-siakan tanpa arti. Kedua adiknya juga sudah mulai terjun mengikuti jejak kakak sulung itu. Adik pertama Amir adalah Rani, perempuan tangguh dan trampil yang mengerahkan keberanian untuk mendapatkan lembaran rupiah dengan menjadi buruh cuci perabotan rumah dan cuci baju. Tidak banyak orang yang membutuhkan jasa Rani, hanya orang-orang berduit tanpa berekor pembantu. Bagi pemilik rambut panjang yang terurai itu, tidak ada kata gengsi untuk melawan arus kuat. Awalnya ia lakoni dengan kepala yang tertunduk hingga seiring waktu pandangan matanya mulai lurus dan percaya diri. Adik Amir yang paling belia juga tidak mau ketinggalan dengan kakak-kakaknya. Banu biasa menjajakan es lilin milik tetangganya mengitari kampung terutama di musim kemarau seperti sekarang. Tangan yang kecil tidak membuatnya  bersusah payah dalam menjinjing dua teremos es di tangan kanan dan kiri. Kala daganganya habis dalam kurun tempo yang belum sore, kerap sekali lelaki bertubuh kurus pendek itu kembali menjajakan jajaanya dengan berbekal satu teromos es. Setiap teremos es berisi dua puluh buah es lilin dan setiap satu buah es lilin yang terjual Banu mendapatkan pemasukan sebesar seratus rupiah. Berkat semangat dan ketekunan lelaki kecil itu bisa mengantongi uang sebesar empat ribu rupiah dalam seharinya. Berbeda dengan musim hujan, tetesan air yang kerap kali mengguyur membuat Amir dan Rani melarang Banu untuk meninggalkan gubuk tujuh kali tujuh meter itu. Mereka hanya tinggal bertiga, ibu mereka sudah lama kembali kepada Yang Maha Pencipta, serta ayah yang merantau ke negeri seberang tidak kunjung hadir dalam penantian mereka.

            Menjelang libur semester pasti diadakan penerimaan rapor bagi setiap siswa sekolah. Amir yang paham akan kondisinya tidak melakukan hal yang sama dengan teman-teman. Ia sadar betul, belum pantas ia melihat hasil belajar sedang uang bulanan sekolah belum lunas. Kondisi ini bukan pertama kalinya bagi Amir, melainkan sudah tiga semester ini belum kunjung ia pandangi nilai juara satunya. Kecerdasan Amir memang benar adanya. Pernah disaksikan oleh mata ribuan orang di atas panggung lewat acara ulang tahun Republik Indonesia dalam final lomba cerdas cermat tingkat kabupaten bertemakan kebangsaan dengan memperoleh emas.

Terbukti pula dengan adanya penghargaan-penghargaan yang terpajang dengan rapih di ruang kepala sekolah, tepatnya di sebuah lemari kaca yang cukup besar sebelah tempat duduk kepala sekolah. Tekad kuat dalam hidup Amir sungguh besar. Ia adalah seorang pemimpi. Kelak Ia ingin menjadi seorang dokter spesialis bedah yang akan menolong siapa saja yang membutuhkan jasanya tanpa harus merogoh saku pasien dengan semena-mena. Sekarang ada banyak dokter yang memanfaatkan pasien dengan melakukan segala jenis monopoli untuk mengeruk laba hingga menggunung-gunung. Rupanya penyakit yang diderita ibunya tepat lima tahun lalu yang mana membutuhkan penanganan ekstra dari pihak rumah sakit elite, berdokter canggih yang mampu merobek kulit dan mengodek-odek bagian dalam tubuh serta menjahit ngangahan kulit hitam putih atau coklat sebangsanya, berfasilitas super lengkap dan serba ada sebagai pendukung segala praktik perdokteran, tentu untuk mendapatkan semua itu dengan uang yang berkoper-koper dan fantastik sehingga tidak jarang banyak pasien yang memilih bertawakal diranjang sendiri karena tidak bersyaratkan untuk membaringkan tubuh di ranjang yang serba berperawatan itu.  Api yang berkobar kini padam. Bahkan ia tidak tau akan melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi atau tidak. Segala upaya yang kini telah ia kerahkan bersama kedua adiknya masih belum cukup untuk menopang segala kebutuhan yang ada dalam keluarga kecilnya.

“Rani, kelak jadilah orang sukses yang bisa bermanfaat bagi orang banyak,” cakap Amir suatu hari.

“Iya Kak. Kelak kakak juga jadi dokter bedah sukses yang gemar menolong siapa saja yang membutuhkan,” balasnya dengan senyum.

Dengan senyum kecil dan berat Amir menganggukkan kepalanya. Rani jelas megerti apa yang menjadi impian kakaknya. Setiap kali Amir menemukan goresan tinta jenis warna apapun di koran bekas milik tetangga atau yang kebenaran ia temui dimana saja mengenai dokter akan ia gunting dan ditempelkan pada dinding bilik bambunya. Kerap kali Amir terbayang, kalau saja ia merupakan anak yang lahir dari keluarga berduit tentu dalam mewujudkan mimpinya itu mudah semudah membalikkan telapak tangan. Setiap bayangan itu muncul langsung ia ucapkan kata-kata istighfar untuk meminta ampun atas kekufuran terhadap nikmat yang Tuhan anugerahkan. Segala yang Tuhan beri itu harus disyukuri walau yang dirasa itu kecil bila bersyukur anugerah itu akan dirasa sangan nikmat karena berkah yang terkandung. Berbeda ketika kufur terhadap anugerah yang walaupun ukuranya besar akan  tidak terasa nikmat dan berlalu begitu saja tanpa arti.

Beberapa hari kemudian, gubuk dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan berkerudung putih lebar dengan suara lembut. Belum genap dua kali lantunan salam terucap, pintu sudah dibukakan oleh Banu. Pakaian yang dikenakan perempuan dewasa itu mengingatkan sosok gurunya di sekolah.

“Apa Amir dirumah? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada Amir.” Ucapnya penuh senyum.

“Kak Amir belum pulang. Masih cari pakan ternak kambing.” Jawab Banu dengan penuh tanda tanya.

Lantas sosok wanita itu tersenyum dan melantunkan kata-kata dengan suara lirih yang kemudian diakhiri dengan pengucapan salam serta beranjak melangkahkan kaki meninggalkan Banu. Perempuan yang membawa tas cangklong hitam itu semakin menjauh dan sesudahnya menghilang dari jangkauan mata hitam Banu yang kiranya berkelok ke arah kanan tepat dipertigaan setelah lurus dari gubuk beralaskan tanah.

Menjelang senja Amir memasukkan kepingan rupiah kedalam celengan bambu miliknya. Ia menamainya dengan bambu masa depan dan serba guna. Bila di goyangkan benda itu akan berbunyi nyaring. Bambu yang ada di belakang rumahnya ia manfaatkan untuk dibuat apa saja untuk menopang keperluan yang mungkin tertutupi oleh hasil tanganya. Benda yang ia pegang itu sekarang tidak lagi berwarna hijau seperti dulu lagi melainkan berwana kuning kecoklatan. Goyangan benda setiap hari membuatnya tersenyum karena setiap kali ia mengisinya akan semakin bertambah massa benda itu. Massa adalah suatu besaran untuk menyatakan besarnya sejumlah benda yang terkumpul dalam satu kesatuan dengan satuan internasionalnya kilo gram. Banu menghampiri kakaknya dengan senyum lebar yang mengembang di pipi menyaksikan rupiah-rupiah yang dilempit kakaknya dan dimasukkan kedalam lubang benda itu. Selesai itu, Banu menceritakan kedatangan sosok misterius yang menanyakan keberadaan kakaknya dengan berparaskan cantik. Sejenak, Amir terdiam mendengar alunan suara adiknya yang lugu dan serius. Amir tidak habis pikir kenapa dalam hari libur panjang wali kelas mendatangi gubuknya dan meminta Amir untuk pergi ke rumah mewah milik ibu di sekolahnya sekarang.

Sepanjang waktu Amir memikirkan perkataan adiknya itu. Banu tidak mungkin berbohong dalam pengucapanya. Amir tidak bisa tidur semalam suntuk. Fikirnya melayang berkeliling dunia, menjelajah samudra dan menyusuri pegunungan Himalaya. Tiba tepat jam dua dini hari, Amir mengambil wudu dan menggerakkan tubuh secara runtut dan anteng sesuai tuntunan yang dianut serta dengan penuh harap ia menengadahkan kedua telapak tangan agar diberikan petunjuk oleh Yang Mahakuasa. Selesai melaksanakan, Amir terlelap diatas sajadah dan bermimpi.

Pagi mendung berselimut kabut dengan ditemani suara hembusan angin penggoyang pepohonan meramaikan kumandang adzan subuh yang menggema. Hawa dingin penembus kulit tidak menyulitkan  untuk beranjak dari tempat tidur dan melaksanakan pekerjaan rutin yang biasa dilakoni setiap hari. Amir tertegun mengingat-ngingat bunga tidur yang hadir dalam lelap menjelang fajarnya. Sembari mengucap khamdallah dengan bergantian dengan istighfar ia mengingat apa yang terjadi ketika kelopak matanya menutup. Seketika langsung ia menyemprotkan ludah kearah kiri sebanyak tiga kali.  Gelisah menyelimuti suasana hati Amir. Ada satu keinginan bagi Amir untuk singgah ketempat yang diperintah oleh perempuan cantik yang dikatakan adiknya, namun keinginan itu ditangkis kuat oleh mimpi yang terakhir kali singgah. Bukannya ia takut diminta uang untuk menebus segala hutang yang terkandut di sekolah, tapi justru ia takut dikeluarkan dari tempat menimba ilmunya sekarang. Ia tidak bisa membayangkan kalau seandainya ia dikeluarkan dari bangkunya ia harus pindah kemana lagi.

Kabut penyelimut hati tidak membuat Amir terus tetap duduk melamun. Segera ia beranjak dari tempat untuk melakukan segala sesuatu yang ia mampu dan sekiranya bermanfaat. Sekeras apapun yang ia usahakan dalam memeras kerigat, sesibuk apapun dalam mengotik-atik pekerjaan yang hasus terselesaikan, ia tidak bisa mengingkari apa yang sekarang ada dalam batinya. Dengan sigap dan cekatan, Amir segera menyelisaikan apa-apa yang menjadi tugasnya hari ini karena ingin segera pulang untuk merileksasikan otot dan tulang belulangnya.

“Tidak biasanya Kak Amir pulang secepat ini, Kakak kenapa?” Rani menghampiri kakaknya yang sedang memasukkan kepingan rupiah.

“Kakak tidak kenapa-kenapa, hanya saja kakak sudah merasa capek atas aktivitas kakak yang tadi,” jawabnya dengan senyum.

“Kak Amir hari ini ingin makan apa? Biar nanti Rani masakkan,” pinta Rani.

“Terserah kau saja Rani, kakak masih kenyang.” Jawabnya sembari menggelelengkan badan di atas kasur.

Amir tidak ingin adiknya mengetahui apa yang ia alami. Ia terus saja membayangkan kekejaman takdir yang akan menyambuk-nyambuk batin dan raganya. Tiap kali ia menatap masa depan,  air mata tidak mampu dibendungnya. Lantas mengalir ke arah yang lebih rendah dataranya yakni ke pipi, dagu, dan menetes kembali. Mata merah yang basah tergambar jelas di muka Amir. Bibirnya yang tipis mongering lantaran berusaha menjaga daerah mulut tidak bersuara.  Memang benar sepandai-padainya tupai melompat, pasti akan jatuh ke tanah. Hingga akhirnya Rani mengetahui apa yang sedang dialami oleh kakaknya.

            Suatu hari, Amir jatuh sakit. Badanya terkapar lemas tidak berdaya. Semua aktifitas tergantikan hanya dengan terbaring di kasur tanpa ranjang terbalutkan kain bercorak batik bunga yang sudah mulai memudar. Tidak biasanya Amir mengalami keadaan ini. Dalam keadaan demikian, Rani harus menggantikan sosok kakak untuk mencari beberapa suap nasi dan lebihan rupiah untuk dimasukkan kedalam benda kesayangan keluarga. Suasana gubuk yang sepi membuat Amir lebih fokus dan berkonsentrasi dalam usaha mencari titik terang dari kegelapan yang sedang ia singgahi. Dengan susah payah, ia membolak-balikkan otak dengan penuh kebimbangan. Ia menimbang dengan hati-hati mana yang sekiranya jawaban terbaik untuk memberantas gelisahnya. Setelah lama memilah, Amir mengambil golok dan dengan semangat ia membelah bambu kesayanganya itu. Ia menghitung recehan dan lembaran dengan seksama, rupanya uang telah terkumpul lumayan banyak. Mata berbinar memandang uang yang telah dirapikanya. Kini benda kesayangan mesti berganti hijau lagi. Benda yang terbelah tepat menjadi dua itu membuat ia tersadar, bahwa ia membuat benda kesayangan yang sirna sekitar enam tahun yang lalu ketika ibunya sakit.

            Tekad kuat kembali menghampiri benak Amir. Setelah matahari surup, Rani dan Banu pulang mencari benda kesayangan keluarga. Dengan teliti mereka mencari-cari hingga memutar-mutarkan tubuh disetiap sudut rumah serta menelusur setiap satuan mili meter tetapi tidak kunjung pula mereka temui. Amir yang sedang menyiapkan makan dan melihat tingkah lucu dua adiknya yang layak sebagai detektif cilik menanyakan apa-apa yang sedang dilakukan mereka. Lantas Amir menceritakan apa yang sudah ia perbuat pada benda itu dan menggantinya dengan  benda yang terisi penuh udara dan ringan tanpa mengeluarkan bunyi ketika digoyangkan.

            Keesokan harinya Amir pergi kerumah ibu guru wali kelasnya. Dengan gemetar ia menginjakkan kaki kanan diatas keramik bercorak bunga berwarna merah. Ucapan salam tidak lupa ia lantunkan sembari melihat-lihat tempat tinggal gurunya. Rumah besar nan tinggi yang diapit oleh tanaman-tanaman penyejuk mata sungguh merupakan gambaran surga yang nyata. Dalam benaknya ia bertanya-tanya,

            “Kapan aku dan adik-adikku bisa menetap di rumah  yang senyaman ini?”

            Selang waktu dari pengucapan salam Amir yang ke tiga terdengarlah balasan salam dari dalam bangunan megah itu, kemudian tuan rumah membukakan pintu. Mata tuan rumah yang memandang tajam Amir mempersilahkan untuk masuk dan duduk. Amir enggan berucap apa-apa, ia paham betul bagaimana kelakuan gurunya dalam menghadapi murid miskin seperti Amir. Ketika banyak pasang mata yang bersaksi pasti ia akan bersifat malaikat, namun ketika hanya ada dua pasang, mata garangnya sungguh benar-benar tidak tertandingi. Amir bingung akan memulai pembicaraan dengan kata-kata serta kalimat yang mana. Tuan rumah yang sedang masuk ke lorong ruang berikutnya membuat Amir segera membuka tas gendong coklat dan meletakkan sekotak amplop putih yang tebal di saku celananya. Tuan rumah kembali menghampiri Amir. Memang benar tangan tuan rumah menenteng barang. Tapi bukan minuman, apa lagi jamuan melainkan  membawa data yang kiranya sangat menakutkan bagi Amir.  Dengan tangan gesit, telunjuk tangan yang tadi membawa buku terbasahi oleh cairan ludah sembari membolak-balik lelembaran isi buku dan menekan-nekan tombol-tombol yang ada didalam papan pencet kalkulator. Keringat dingin mengucur dari tulang punggung Amir. Tangan dan Kakinya menggigil. Ketakutan semakin menjadi ketika bunyi pencetan tombol semakin mengeras. Dengan mata yang memandang fokus pada isi lembaran itu, ia mencoba ikut mengkalkulasikan angka-angka yang singgah dibawah cantuman namanya. Sungguh tidak dapat terhitung oleh anganan otak seorang Amir.

            Sudah sehari menurut Amir, wanita di depanya memencet tombol. Sungguh waktu yang sangat lama baginya. Gelisah yang makin  membelenggu mengarahkan pandangnya kearah jam dinding mewah dengan permata putih yang melintang.

            “Oh Tuhan, baru lima menit kududuk disini.” Gerutunya dalam hati.

            Senyum lebar terhias di wajah wanita itu. Amir semakin panik, sudah terbiasa guru itu menjadi udang dibalik batu. Setiap siswa yang dipanggil untuk singgah kerumahnya, pasti di penghujung akan ditagih kurangan biaya sekolah.

            “Lihatlah Amir, sudah sebanyak ini kau berhutang pada tempat yang mulia. Murid seperti kaulah penyebab gaji saya tidak terbayar penuh. Semestinya kau paham, bagaimana lelahnya seorang guru yang mengajar. Apa kau tega membenarkan air susu dibalas dengan air tuba kepada saya?” ucap wanita itu dengan kesal.

            Mulut terasa terkunci bagi Amir, tidak mampu ia melontarkan sepatah kata pun sebagai lisan seorang murid yang merasa berdosa. Wanita itu terus saja melontarkan kata-kata  yang mendesak hati Amir yang ingin segera angkat pantat dari sofa merah empuk itu. Setengah jam sudah tuan rumah berpidato layaknya mubaligh, berkicau-kicau dengan suara melengking layaknya burung jalak, gendang telinga Amir yang sudah tidak kuat mendengar ceramahan tuan rumah menyodorkan amplop ke tangan wanita itu. Wanita itu lantas menghitung dengan tangan yang cekatan. Mungkin tangan itu memang sudah terbiasa memainkan uang di tangan hingga menonjol kesan licin nan lincah uang melompat-lompat girang.

            “Uang ini tidak seberapa. Kau baru melunasi seperenam dari seluruh utangmu. Kau lebih baik keluar saja dari pada terus menambah hutang negara. Kau bisa melunasi lewat tangan saya. Nyicil tidak masalah.” Nasehat guru kelas Amir.

            Hari masuk sekolah sudah tiba. Amir tidak lagi mengenakan seragam abu-abu putih lantaran harus bekerja setiap detik nafas berhembus. Rani yang di bangku SMP mengharuskan ia untuk berhenti mengais rupiah untuk setiap paginya. Banu berangkat ke tempat belajar dengan membawa teremos es. Bapak ibu gurunya memaklumi kondisi keluarga Banu.

            Tiga bulan sudah Amir tanpa henti mencoba menutupi lubang besar yang mengangah di masa lalunya. Ia tidak habis fikir, apa tambalan lubang itu diserahkan kepada gedung belajar atau untuk nasi guru garang. Tapi ia tidak ingin memikirkan hal-hal yang menurutnya kurang penting, itu hanya membuang waktu saja. Baginya yang terpenting adalah suatu saat nanti ngangahan lubang itu bisa tertutup dengan rapat dan rapih.

            Senin pagi tepat bulan Agustus tahun berikut, desa kedatangan para pemuda-pemudi dengan mengenakan jas kuning yang menyilaukan mata bila terpapar cahaya matahari. Pengumuman menggelegar singgah di kuping-kuping penghuni desa. Ternyata mereka sedang mengikuti program kuliah, nampaknya program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Bisik-bisik dari mulut ke mulut katanya mereka mengadakan program sekolah gratis bagi penduduk yang ingin bersekolah. Bisikan itu terdengar hingga ke telinga kanan Amir. Amir yang sudah sangat haus akan ilmu bangku sekolah akhirnya memutuskan untuk bergabung. Sekolah yang didirikan para mahasiswa ini mencakup semua bangku sekolah dari SD, hingga SMA. Melihat semangat keras dalam benak para muridnya, Fifit salah satu pengajar memutuskan untuk terus berlanjut berbagi ilmu kepada mereka yang membutuhkan. Pengajar dengan pakaian serba longgar itu dibantu oleh dua orang temannya.

            Amir yang putus sekolah ketika selesai menginjakkan kaki di bangku semester lima, saat ini satu bulan mendatang akan mengikuti ujian nasional. Tapi Amir tidak begitu yakin apakah ia bisa singgah ke penghujung masa sekolah menengahnya atau tidak. Segala upaya dikerahkan para pengajar sekolah tak resmi itu.

            “Amir, kau belajarlah semampumu. Kami berjanji akan membawamu dan teman-temanmu setinggi mungkin, sebisa kami.” Pinta Fifit dan para pengajar

            “Kalian jangan menganggap kami sebagai sarjana manajemen kalau kami tidak mampu membawa kalian kejalan yang lebih cerah.” Kalimat yang kerap kali muncul dari para pengajar Amir dan kawan-kawan.

            Rani dan Banu yang sudah tidak kuat lagi terbiayai oleh recehan uang akhirnya memutuskan untuk kembali mengikuti jejak sang kakak. Menurut Rani, sekolah bersama Mba Fifit dan pengajar lain jauh lebih menyenangkan ketimbang harus iri hati ketika melihat mereka yang sekolah dengan antar jemput mobil serba mulus dan kinclong bersama seorang ayah yang mengendarai.

            Ujian nasional telah dilaksanakan. Sekolah tanpa gedung mendapatkan kabar yang mengejutkan. Ternyata Amir salah satu siswanya memdapatkan selembar kertas dengan goresan tinta hitam yang mencoret kata lulus. Para keluarga setempat belajar histeris dan menangis. Badai tetesan air terus saja mengguyur semakin deras, hingga banjir kini telah melanda. Puting beliung pun menyapu bersih tegakkan semangat anak-anak, remaja, bahkan dewasa.

            “Sudahlah, kita belajar tujuanya bukan hanya untuk mendapat sertifikat lulus. Kita belajar untuk menjadi lebih pintar. Ilmu itu kita gunakan untuk hidup, kalau bisa dimanfaatkan untuk membantu orang lain. Sebagai manusia, kita hanya perlu berusaha sebisa kita. Untuk hasilnya, Tuhan Yang Maha Menentukan.” Hibur Mba Fifit.

            Keesokan harinya, tempat belajar itu tinggal tersisa puing-puing kenangan. Hanya perempuan berbaju longgar yang masih terduduk membawa lamunan yang semu. Gelak tawa anak-anak jalanan  kini tergantikan dengan hembusan angin. Canda gurau lenyap menjelma sayup sepi. Lamunan yang sudah jauh dan tinggi menembus tujuh langit terpudarkan oleh datangnya mobil hitam. Pintu membuka dan keluarlah sosok pria berpakaian jas hitam dengan membawa tas hitam dan mendekati Mba Fifit.

            “Permisi” ucapnya dengan sopan.

            Mba Fifit lantas menceritakan segala yang telah terjadi pada tempat yang sedang dipijakinya. Rupanya pria itu utusan dari dinas pendidikan setempat.

            “Begini Mba, saya datang kesini untuk menyampaikan kekeliruan dari hasil ujian nasional yang kamarin. Bahwasanya, hasil yang kemarin kami kirim ke tempat ini atas nama Amir Amirulloh bukan Amir Amarulloh. Ini hasil yang benar.” Kata-katanya dilantunkan dengan tegas.

Mba Fifit tidak percaya dan masih terdiam.

“Selamat ya Mba, didikan Mba mendapatkan juara satu tingkat nasional. Dan apabila berminat untuk berkuliah, murid Mba segera mendatangi pihak kami. Karena mendapatkan biaya kuliah gratis dari bapak presiden kita.” Kata pria bertaskan hitam sambil menyerahkan amplop hasil ujian nasional yang benar.

Mba Fifit lantas membuka amplop tersebut dan langsung menempelkan hidung ke atas tanah. Dengan lari terbirit-birit sambil menangis tersedu-sedu ia berlari menuju rumah Amir. Sesampainya, mendengar kabar gembira itu mereka sujud syukur dan saling menyebut nama Tuhan secara bergantian. Seiring berjalanya waktu, sekarang Amir sudah mendapatkan impianya yaitu menjadi dokter spesialis bedah yang gemar membantu dan selalu bersyukur kepada Zat Pemberi Hidup.