Syukur
By : Fina Siliyya
By : Fina Siliyya
Setiap insan memiliki cara yang
berbeda untuk mewujudkan rasa terima kasihnya kepada Sang Pencipta. Penerapan
syukur setiap insan juga berbeda, yakni bergantung dengan segi pemahaman
tentang arti syukur itu sendiri. Kerja keras dalam hidup merupakan salah satu
bentuk syukur yang harus dimiliki oleh setiap jiwa yang mempunyai mimpi hidup.
Desa yang kumuh tempat anak-anak
jalanan singgah masih banyak ditemui di negeri ini. Negeri yang miskin akibat
bejatnya kelakuan mereka yang kufur atas segala yang dimiliki menjadi penyebab
utama. Lelantungan para pejalan berbaju tidak layak pakai mewarnai jalanan.
Duduk dengan berlenggak-lenggok memegang kaleng, sibuk bernyanyi dengan kantung
plastik, hingga ada yang berlarian dengan diikuti kelompok orang. Mereka semua
bukanlah artis. Mungkin mereka adalah beberapa contoh korban kekufuran dalam
hidup .
Tidak banyak mereka yang masih
mengalami kebutaan huruf. Sekolah dianggap tidak terlalu penting. Rata-rata
mereka berfikir lebih baik bekerja mencari uang dari pada sekolah membuang
uang. Sedikit yang berfikir diantara mereka bahwa dengan bersekolah dapat
mengubah nasib di masa yang akan datang.
Lelaki bertubuh tinggi kurus terbalutkan kain kumal masih enggan
menghentikan gerak tangan yang sedang memegang arit dan dedaunan hijau dengan
ranting muda. Sepoian angin menyisir
rambut lelaki itu dan dihiraukannya pula sengatan matahari yang tepat berada
diatas kepala. Amir dengan cekatan memasukkan daun-daun yang telah dipotongnya
kedalam karung putih yang ia bawa. Sebelum tiga karung terisi penuh pakan
kambing Amir tidak akan menghentikan ayunan aritnya. Pakan ternak itu nantinya
hendak ditukarkan kepada tetangga yang mempunyai ternak kambing dengan lembaran
lima ribu rupiah perkarungnya. Kondisi ini sudah biasa dilakoni Amir setelah
pulang sekolah sejak kelas empat sekolah dasar. Lelaki tujuh belas tahun
berhidung mancung ini selalu sibuk. Setiap selesai melakukan suatu pekerjaan ia
akan mengerjakan pekerjaan yang lain hingga bulan memanggilnya untuk memejamkan
mata.
Bagi keluarga Amir, nafas tidak
boleh disia-siakan tanpa arti. Kedua adiknya juga sudah mulai terjun mengikuti
jejak kakak sulung itu. Adik pertama Amir adalah Rani, perempuan tangguh dan trampil
yang mengerahkan keberanian untuk mendapatkan lembaran rupiah dengan menjadi
buruh cuci perabotan rumah dan cuci baju. Tidak banyak orang yang membutuhkan
jasa Rani, hanya orang-orang berduit tanpa berekor pembantu. Bagi pemilik
rambut panjang yang terurai itu, tidak ada kata gengsi untuk melawan arus kuat.
Awalnya ia lakoni dengan kepala yang tertunduk hingga seiring waktu pandangan
matanya mulai lurus dan percaya diri. Adik Amir yang paling belia juga tidak
mau ketinggalan dengan kakak-kakaknya. Banu biasa menjajakan es lilin milik
tetangganya mengitari kampung terutama di musim kemarau seperti sekarang.
Tangan yang kecil tidak membuatnya bersusah payah dalam menjinjing dua teremos es
di tangan kanan dan kiri. Kala daganganya habis dalam kurun tempo yang belum
sore, kerap sekali lelaki bertubuh kurus pendek itu kembali menjajakan jajaanya
dengan berbekal satu teromos es. Setiap teremos es berisi dua puluh buah es
lilin dan setiap satu buah es lilin yang terjual Banu mendapatkan pemasukan
sebesar seratus rupiah. Berkat semangat dan ketekunan lelaki kecil itu bisa
mengantongi uang sebesar empat ribu rupiah dalam seharinya. Berbeda dengan
musim hujan, tetesan air yang kerap kali mengguyur membuat Amir dan Rani
melarang Banu untuk meninggalkan gubuk tujuh kali tujuh meter itu. Mereka hanya
tinggal bertiga, ibu mereka sudah lama kembali kepada Yang Maha Pencipta, serta
ayah yang merantau ke negeri seberang tidak kunjung hadir dalam penantian
mereka.
Menjelang libur semester pasti
diadakan penerimaan rapor bagi setiap siswa sekolah. Amir yang paham akan
kondisinya tidak melakukan hal yang sama dengan teman-teman. Ia sadar betul,
belum pantas ia melihat hasil belajar sedang uang bulanan sekolah belum lunas.
Kondisi ini bukan pertama kalinya bagi Amir, melainkan sudah tiga semester ini
belum kunjung ia pandangi nilai juara satunya. Kecerdasan Amir memang benar
adanya. Pernah disaksikan oleh mata ribuan orang di atas panggung lewat acara
ulang tahun Republik Indonesia dalam final lomba cerdas cermat tingkat
kabupaten bertemakan kebangsaan dengan memperoleh emas.
Terbukti pula dengan adanya penghargaan-penghargaan yang terpajang
dengan rapih di ruang kepala sekolah, tepatnya di sebuah lemari kaca yang cukup
besar sebelah tempat duduk kepala sekolah. Tekad kuat dalam hidup Amir sungguh
besar. Ia adalah seorang pemimpi. Kelak Ia ingin menjadi seorang dokter
spesialis bedah yang akan menolong siapa saja yang membutuhkan jasanya tanpa
harus merogoh saku pasien dengan semena-mena. Sekarang ada banyak dokter yang
memanfaatkan pasien dengan melakukan segala jenis monopoli untuk mengeruk laba
hingga menggunung-gunung. Rupanya penyakit yang diderita ibunya tepat lima
tahun lalu yang mana membutuhkan penanganan ekstra dari pihak rumah sakit elite,
berdokter canggih yang mampu merobek kulit dan mengodek-odek bagian dalam tubuh
serta menjahit ngangahan kulit hitam putih atau coklat sebangsanya,
berfasilitas super lengkap dan serba ada sebagai pendukung segala praktik
perdokteran, tentu untuk mendapatkan semua itu dengan uang yang berkoper-koper
dan fantastik sehingga tidak jarang banyak pasien yang memilih bertawakal
diranjang sendiri karena tidak bersyaratkan untuk membaringkan tubuh di ranjang
yang serba berperawatan itu. Api yang
berkobar kini padam. Bahkan ia tidak tau akan melanjutkan pendidikan di jenjang
yang lebih tinggi atau tidak. Segala upaya yang kini telah ia kerahkan bersama
kedua adiknya masih belum cukup untuk menopang segala kebutuhan yang ada dalam
keluarga kecilnya.
“Rani, kelak jadilah orang sukses yang bisa bermanfaat bagi orang
banyak,” cakap Amir suatu hari.
“Iya Kak. Kelak kakak juga jadi dokter bedah sukses yang gemar menolong
siapa saja yang membutuhkan,” balasnya dengan senyum.
Dengan senyum kecil dan berat Amir menganggukkan kepalanya. Rani jelas
megerti apa yang menjadi impian kakaknya. Setiap kali Amir menemukan goresan
tinta jenis warna apapun di koran bekas milik tetangga atau yang kebenaran ia
temui dimana saja mengenai dokter akan ia gunting dan ditempelkan pada dinding
bilik bambunya. Kerap kali Amir terbayang, kalau saja ia merupakan anak yang
lahir dari keluarga berduit tentu dalam mewujudkan mimpinya itu mudah semudah
membalikkan telapak tangan. Setiap bayangan itu muncul langsung ia ucapkan
kata-kata istighfar untuk meminta ampun atas kekufuran terhadap nikmat yang
Tuhan anugerahkan. Segala yang Tuhan beri itu harus disyukuri walau yang dirasa
itu kecil bila bersyukur anugerah itu akan dirasa sangan nikmat karena berkah
yang terkandung. Berbeda ketika kufur terhadap anugerah yang walaupun ukuranya
besar akan tidak terasa nikmat dan
berlalu begitu saja tanpa arti.
Beberapa hari kemudian, gubuk dikejutkan dengan kedatangan seorang
perempuan berkerudung putih lebar dengan suara lembut. Belum genap dua kali
lantunan salam terucap, pintu sudah dibukakan oleh Banu. Pakaian yang dikenakan
perempuan dewasa itu mengingatkan sosok gurunya di sekolah.
“Apa Amir dirumah? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada
Amir.” Ucapnya penuh senyum.
“Kak Amir belum pulang. Masih cari pakan ternak kambing.” Jawab Banu
dengan penuh tanda tanya.
Lantas sosok wanita itu tersenyum dan melantunkan kata-kata dengan suara
lirih yang kemudian diakhiri dengan pengucapan salam serta beranjak
melangkahkan kaki meninggalkan Banu. Perempuan yang membawa tas cangklong hitam
itu semakin menjauh dan sesudahnya menghilang dari jangkauan mata hitam Banu
yang kiranya berkelok ke arah kanan tepat dipertigaan setelah lurus dari gubuk
beralaskan tanah.
Menjelang senja Amir memasukkan kepingan rupiah kedalam celengan bambu
miliknya. Ia menamainya dengan bambu masa depan dan serba guna. Bila di goyangkan
benda itu akan berbunyi nyaring. Bambu yang ada di belakang rumahnya ia
manfaatkan untuk dibuat apa saja untuk menopang keperluan yang mungkin
tertutupi oleh hasil tanganya. Benda yang ia pegang itu sekarang tidak lagi
berwarna hijau seperti dulu lagi melainkan berwana kuning kecoklatan. Goyangan
benda setiap hari membuatnya tersenyum karena setiap kali ia mengisinya akan
semakin bertambah massa benda itu. Massa adalah suatu besaran untuk menyatakan
besarnya sejumlah benda yang terkumpul dalam satu kesatuan dengan satuan
internasionalnya kilo gram. Banu menghampiri kakaknya dengan senyum lebar yang
mengembang di pipi menyaksikan rupiah-rupiah yang dilempit kakaknya dan
dimasukkan kedalam lubang benda itu. Selesai itu, Banu menceritakan kedatangan
sosok misterius yang menanyakan keberadaan kakaknya dengan berparaskan cantik.
Sejenak, Amir terdiam mendengar alunan suara adiknya yang lugu dan serius. Amir
tidak habis pikir kenapa dalam hari libur panjang wali kelas mendatangi
gubuknya dan meminta Amir untuk pergi ke rumah mewah milik ibu di sekolahnya
sekarang.
Sepanjang waktu Amir memikirkan perkataan adiknya itu. Banu tidak
mungkin berbohong dalam pengucapanya. Amir tidak bisa tidur semalam suntuk.
Fikirnya melayang berkeliling dunia, menjelajah samudra dan menyusuri
pegunungan Himalaya. Tiba tepat jam dua dini hari, Amir mengambil wudu dan
menggerakkan tubuh secara runtut dan anteng sesuai tuntunan yang dianut serta
dengan penuh harap ia menengadahkan kedua telapak tangan agar diberikan
petunjuk oleh Yang Mahakuasa. Selesai melaksanakan, Amir terlelap diatas
sajadah dan bermimpi.
Pagi mendung berselimut kabut dengan ditemani suara hembusan angin
penggoyang pepohonan meramaikan kumandang adzan subuh yang menggema. Hawa
dingin penembus kulit tidak menyulitkan untuk
beranjak dari tempat tidur dan melaksanakan pekerjaan rutin yang biasa dilakoni
setiap hari. Amir tertegun mengingat-ngingat bunga tidur yang hadir dalam lelap
menjelang fajarnya. Sembari mengucap khamdallah dengan bergantian dengan
istighfar ia mengingat apa yang terjadi ketika kelopak matanya menutup.
Seketika langsung ia menyemprotkan ludah kearah kiri sebanyak tiga kali. Gelisah menyelimuti suasana hati Amir. Ada
satu keinginan bagi Amir untuk singgah ketempat yang diperintah oleh perempuan
cantik yang dikatakan adiknya, namun keinginan itu ditangkis kuat oleh mimpi
yang terakhir kali singgah. Bukannya ia takut diminta uang untuk menebus segala
hutang yang terkandut di sekolah, tapi justru ia takut dikeluarkan dari tempat
menimba ilmunya sekarang. Ia tidak bisa membayangkan kalau seandainya ia
dikeluarkan dari bangkunya ia harus pindah kemana lagi.
Kabut penyelimut hati tidak membuat Amir terus tetap duduk melamun. Segera
ia beranjak dari tempat untuk melakukan segala sesuatu yang ia mampu dan sekiranya
bermanfaat. Sekeras apapun yang ia usahakan dalam memeras kerigat, sesibuk
apapun dalam mengotik-atik pekerjaan yang hasus terselesaikan, ia tidak bisa
mengingkari apa yang sekarang ada dalam batinya. Dengan sigap dan cekatan, Amir
segera menyelisaikan apa-apa yang menjadi tugasnya hari ini karena ingin segera
pulang untuk merileksasikan otot dan tulang belulangnya.
“Tidak biasanya Kak Amir pulang secepat ini, Kakak kenapa?” Rani
menghampiri kakaknya yang sedang memasukkan kepingan rupiah.
“Kakak tidak kenapa-kenapa, hanya saja kakak sudah merasa capek atas
aktivitas kakak yang tadi,” jawabnya dengan senyum.
“Kak Amir hari ini ingin makan apa? Biar nanti Rani masakkan,” pinta
Rani.
“Terserah kau saja Rani, kakak masih kenyang.” Jawabnya sembari menggelelengkan
badan di atas kasur.
Amir tidak ingin adiknya mengetahui apa yang ia alami. Ia terus saja
membayangkan kekejaman takdir yang akan menyambuk-nyambuk batin dan raganya.
Tiap kali ia menatap masa depan, air
mata tidak mampu dibendungnya. Lantas mengalir ke arah yang lebih rendah
dataranya yakni ke pipi, dagu, dan menetes kembali. Mata merah yang basah
tergambar jelas di muka Amir. Bibirnya yang tipis mongering lantaran berusaha
menjaga daerah mulut tidak bersuara. Memang benar sepandai-padainya tupai melompat,
pasti akan jatuh ke tanah. Hingga akhirnya Rani mengetahui apa yang sedang
dialami oleh kakaknya.
Suatu hari, Amir jatuh sakit.
Badanya terkapar lemas tidak berdaya. Semua aktifitas tergantikan hanya dengan
terbaring di kasur tanpa ranjang terbalutkan kain bercorak batik bunga yang
sudah mulai memudar. Tidak biasanya Amir mengalami keadaan ini. Dalam keadaan
demikian, Rani harus menggantikan sosok kakak untuk mencari beberapa suap nasi
dan lebihan rupiah untuk dimasukkan kedalam benda kesayangan keluarga. Suasana
gubuk yang sepi membuat Amir lebih fokus dan berkonsentrasi dalam usaha mencari
titik terang dari kegelapan yang sedang ia singgahi. Dengan susah payah, ia
membolak-balikkan otak dengan penuh kebimbangan. Ia menimbang dengan hati-hati
mana yang sekiranya jawaban terbaik untuk memberantas gelisahnya. Setelah lama
memilah, Amir mengambil golok dan dengan semangat ia membelah bambu
kesayanganya itu. Ia menghitung recehan dan lembaran dengan seksama, rupanya
uang telah terkumpul lumayan banyak. Mata berbinar memandang uang yang telah
dirapikanya. Kini benda kesayangan mesti berganti hijau lagi. Benda yang
terbelah tepat menjadi dua itu membuat ia tersadar, bahwa ia membuat benda
kesayangan yang sirna sekitar enam tahun yang lalu ketika ibunya sakit.
Tekad kuat kembali menghampiri benak
Amir. Setelah matahari surup, Rani dan Banu pulang mencari benda kesayangan
keluarga. Dengan teliti mereka mencari-cari hingga memutar-mutarkan tubuh
disetiap sudut rumah serta menelusur setiap satuan mili meter tetapi tidak
kunjung pula mereka temui. Amir yang sedang menyiapkan makan dan melihat
tingkah lucu dua adiknya yang layak sebagai detektif cilik menanyakan apa-apa
yang sedang dilakukan mereka. Lantas Amir menceritakan apa yang sudah ia
perbuat pada benda itu dan menggantinya dengan
benda yang terisi penuh udara dan ringan tanpa mengeluarkan bunyi ketika
digoyangkan.
Keesokan harinya Amir pergi kerumah
ibu guru wali kelasnya. Dengan gemetar ia menginjakkan kaki kanan diatas
keramik bercorak bunga berwarna merah. Ucapan salam tidak lupa ia lantunkan sembari
melihat-lihat tempat tinggal gurunya. Rumah besar nan tinggi yang diapit oleh
tanaman-tanaman penyejuk mata sungguh merupakan gambaran surga yang nyata. Dalam
benaknya ia bertanya-tanya,
“Kapan aku dan adik-adikku bisa
menetap di rumah yang senyaman ini?”
Selang waktu dari pengucapan salam
Amir yang ke tiga terdengarlah balasan salam dari dalam bangunan megah itu,
kemudian tuan rumah membukakan pintu. Mata tuan rumah yang memandang tajam Amir
mempersilahkan untuk masuk dan duduk. Amir enggan berucap apa-apa, ia paham
betul bagaimana kelakuan gurunya dalam menghadapi murid miskin seperti Amir.
Ketika banyak pasang mata yang bersaksi pasti ia akan bersifat malaikat, namun
ketika hanya ada dua pasang, mata garangnya sungguh benar-benar tidak
tertandingi. Amir bingung akan memulai pembicaraan dengan kata-kata serta
kalimat yang mana. Tuan rumah yang sedang masuk ke lorong ruang berikutnya
membuat Amir segera membuka tas gendong coklat dan meletakkan sekotak amplop putih
yang tebal di saku celananya. Tuan rumah kembali menghampiri Amir. Memang benar
tangan tuan rumah menenteng barang. Tapi bukan minuman, apa lagi jamuan
melainkan membawa data yang kiranya
sangat menakutkan bagi Amir. Dengan
tangan gesit, telunjuk tangan yang tadi membawa buku terbasahi oleh cairan
ludah sembari membolak-balik lelembaran isi buku dan menekan-nekan
tombol-tombol yang ada didalam papan pencet kalkulator. Keringat dingin
mengucur dari tulang punggung Amir. Tangan dan Kakinya menggigil. Ketakutan
semakin menjadi ketika bunyi pencetan tombol semakin mengeras. Dengan mata yang
memandang fokus pada isi lembaran itu, ia mencoba ikut mengkalkulasikan
angka-angka yang singgah dibawah cantuman namanya. Sungguh tidak dapat
terhitung oleh anganan otak seorang Amir.
Sudah sehari menurut Amir, wanita di
depanya memencet tombol. Sungguh waktu yang sangat lama baginya. Gelisah yang
makin membelenggu mengarahkan pandangnya
kearah jam dinding mewah dengan permata putih yang melintang.
“Oh Tuhan, baru lima menit kududuk
disini.” Gerutunya dalam hati.
Senyum lebar terhias di wajah wanita
itu. Amir semakin panik, sudah terbiasa guru itu menjadi udang dibalik batu. Setiap
siswa yang dipanggil untuk singgah kerumahnya, pasti di penghujung akan ditagih
kurangan biaya sekolah.
“Lihatlah Amir, sudah sebanyak ini
kau berhutang pada tempat yang mulia. Murid seperti kaulah penyebab gaji saya
tidak terbayar penuh. Semestinya kau paham, bagaimana lelahnya seorang guru
yang mengajar. Apa kau tega membenarkan air susu dibalas dengan air tuba kepada
saya?” ucap wanita itu dengan kesal.
Mulut terasa terkunci bagi Amir,
tidak mampu ia melontarkan sepatah kata pun sebagai lisan seorang murid yang
merasa berdosa. Wanita itu terus saja melontarkan kata-kata yang mendesak hati Amir yang ingin segera
angkat pantat dari sofa merah empuk itu. Setengah jam sudah tuan rumah berpidato
layaknya mubaligh, berkicau-kicau dengan suara melengking layaknya burung
jalak, gendang telinga Amir yang sudah tidak kuat mendengar ceramahan tuan
rumah menyodorkan amplop ke tangan wanita itu. Wanita itu lantas menghitung
dengan tangan yang cekatan. Mungkin tangan itu memang sudah terbiasa memainkan
uang di tangan hingga menonjol kesan licin nan lincah uang melompat-lompat
girang.
“Uang ini tidak seberapa. Kau baru
melunasi seperenam dari seluruh utangmu. Kau lebih baik keluar saja dari pada
terus menambah hutang negara. Kau bisa melunasi lewat tangan saya. Nyicil tidak
masalah.” Nasehat guru kelas Amir.
Hari masuk sekolah sudah tiba. Amir
tidak lagi mengenakan seragam abu-abu putih lantaran harus bekerja setiap detik
nafas berhembus. Rani yang di bangku SMP mengharuskan ia untuk berhenti mengais
rupiah untuk setiap paginya. Banu berangkat ke tempat belajar dengan membawa
teremos es. Bapak ibu gurunya memaklumi kondisi keluarga Banu.
Tiga bulan sudah Amir tanpa henti
mencoba menutupi lubang besar yang mengangah di masa lalunya. Ia tidak habis fikir,
apa tambalan lubang itu diserahkan kepada gedung belajar atau untuk nasi guru
garang. Tapi ia tidak ingin memikirkan hal-hal yang menurutnya kurang penting,
itu hanya membuang waktu saja. Baginya yang terpenting adalah suatu saat nanti
ngangahan lubang itu bisa tertutup dengan rapat dan rapih.
Senin pagi tepat bulan Agustus tahun
berikut, desa kedatangan para pemuda-pemudi dengan mengenakan jas kuning yang
menyilaukan mata bila terpapar cahaya matahari. Pengumuman menggelegar singgah
di kuping-kuping penghuni desa. Ternyata mereka sedang mengikuti program
kuliah, nampaknya program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Bisik-bisik dari mulut ke
mulut katanya mereka mengadakan program sekolah gratis bagi penduduk yang ingin
bersekolah. Bisikan itu terdengar hingga ke telinga kanan Amir. Amir yang sudah
sangat haus akan ilmu bangku sekolah akhirnya memutuskan untuk bergabung.
Sekolah yang didirikan para mahasiswa ini mencakup semua bangku sekolah dari
SD, hingga SMA. Melihat semangat keras dalam benak para muridnya, Fifit salah
satu pengajar memutuskan untuk terus berlanjut berbagi ilmu kepada mereka yang membutuhkan.
Pengajar dengan pakaian serba longgar itu dibantu oleh dua orang temannya.
Amir yang putus sekolah ketika
selesai menginjakkan kaki di bangku semester lima, saat ini satu bulan
mendatang akan mengikuti ujian nasional. Tapi Amir tidak begitu yakin apakah ia
bisa singgah ke penghujung masa sekolah menengahnya atau tidak. Segala upaya
dikerahkan para pengajar sekolah tak resmi itu.
“Amir, kau belajarlah semampumu.
Kami berjanji akan membawamu dan teman-temanmu setinggi mungkin, sebisa kami.”
Pinta Fifit dan para pengajar
“Kalian jangan menganggap kami
sebagai sarjana manajemen kalau kami tidak mampu membawa kalian kejalan yang
lebih cerah.” Kalimat yang kerap kali muncul dari para pengajar Amir dan
kawan-kawan.
Rani dan Banu yang sudah tidak kuat
lagi terbiayai oleh recehan uang akhirnya memutuskan untuk kembali mengikuti
jejak sang kakak. Menurut Rani, sekolah bersama Mba Fifit dan pengajar lain
jauh lebih menyenangkan ketimbang harus iri hati ketika melihat mereka yang
sekolah dengan antar jemput mobil serba mulus dan kinclong bersama seorang ayah
yang mengendarai.
Ujian nasional telah dilaksanakan.
Sekolah tanpa gedung mendapatkan kabar yang mengejutkan. Ternyata Amir salah
satu siswanya memdapatkan selembar kertas dengan goresan tinta hitam yang
mencoret kata lulus. Para keluarga setempat belajar histeris dan menangis.
Badai tetesan air terus saja mengguyur semakin deras, hingga banjir kini telah
melanda. Puting beliung pun menyapu bersih tegakkan semangat anak-anak, remaja,
bahkan dewasa.
“Sudahlah, kita belajar tujuanya
bukan hanya untuk mendapat sertifikat lulus. Kita belajar untuk menjadi lebih
pintar. Ilmu itu kita gunakan untuk hidup, kalau bisa dimanfaatkan untuk
membantu orang lain. Sebagai manusia, kita hanya perlu berusaha sebisa kita.
Untuk hasilnya, Tuhan Yang Maha Menentukan.” Hibur Mba Fifit.
Keesokan harinya, tempat belajar itu
tinggal tersisa puing-puing kenangan. Hanya perempuan berbaju longgar yang
masih terduduk membawa lamunan yang semu. Gelak tawa anak-anak jalanan kini tergantikan dengan hembusan angin. Canda
gurau lenyap menjelma sayup sepi. Lamunan yang sudah jauh dan tinggi menembus
tujuh langit terpudarkan oleh datangnya mobil hitam. Pintu membuka dan
keluarlah sosok pria berpakaian jas hitam dengan membawa tas hitam dan
mendekati Mba Fifit.
“Permisi” ucapnya dengan sopan.
Mba Fifit lantas menceritakan segala
yang telah terjadi pada tempat yang sedang dipijakinya. Rupanya pria itu utusan
dari dinas pendidikan setempat.
“Begini Mba, saya datang kesini
untuk menyampaikan kekeliruan dari hasil ujian nasional yang kamarin.
Bahwasanya, hasil yang kemarin kami kirim ke tempat ini atas nama Amir
Amirulloh bukan Amir Amarulloh. Ini hasil yang benar.” Kata-katanya dilantunkan
dengan tegas.
Mba Fifit tidak percaya dan masih terdiam.
“Selamat ya Mba, didikan Mba mendapatkan juara satu tingkat nasional.
Dan apabila berminat untuk berkuliah, murid Mba segera mendatangi pihak kami.
Karena mendapatkan biaya kuliah gratis dari bapak presiden kita.” Kata pria
bertaskan hitam sambil menyerahkan amplop hasil ujian nasional yang benar.
Mba Fifit lantas membuka amplop tersebut dan langsung menempelkan hidung
ke atas tanah. Dengan lari terbirit-birit sambil menangis tersedu-sedu ia
berlari menuju rumah Amir. Sesampainya, mendengar kabar gembira itu mereka
sujud syukur dan saling menyebut nama Tuhan secara bergantian. Seiring
berjalanya waktu, sekarang Amir sudah mendapatkan impianya yaitu menjadi dokter
spesialis bedah yang gemar membantu dan selalu bersyukur kepada Zat Pemberi
Hidup.