Mengonversi Cerpen berjudul Banun karya Damhuri
Muhammad menjadi naskah drama
Banun
Naskah : Fina Siliyya
Tokoh :
Banun
Rimah
Palar
Zubaidah
Rustam
Nami
Surti
Perempuan ringkih berpunggung melengkung
bernama Banun yang terkenal lantaran sifat kikir dan kedengkianya hingga
dijuluki Banun Kikir. Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak
dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet
nomor satu itu. Salah satunya adalah Banun Kikir yang berprofesi sebagai
petani. Sore menjelang senja, sosok wanita kuat dengan memikul dedaunan kelapa
kering masuk rumah.
Rimah : “Ini
mak, minum dulu.” (menyodorkan segelas
air teh manis)
Banun : “Terima kasih Rimah” (mengambil gelas di tangan Rimah dan
meminumnya) “Rimah, tolong ambilkan mak korek api di meja kamar mak.”
Rimah : “Baik mak.”
(Segera Rimah
mengambilkan apa yang diperintah maknya.)
Tangan Banun yang cekatan mengambil
daun-daun kelapa kering dan dinyalakanya api dengan mudah. Belum satu menit,
api sudah menghangatkan tungku dan mengepulkan asap dapurnya.
Rimah :
“Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?”
Banun :
“Maksud Rimah apa?”
Rimah : “Mak
tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”
Banun : “Tak usah hiraukan gunjingan orang!
Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyang bangku
sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani.”
Mendengar keributan itu, saudara Rimah, Nami
yang sedang memarut ubi jalar menghentikan gerak tanganya.
Nami : “Sudahlah, tak enak kalau tetangga
mendengar keributan ini.”
Banun : “Sebagai anak yang lahir dari rahim
orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”
Nami : “Petani sejati?”
Banun : “Dengarlah, kita itu orang tani yang
asalnya dari kata tahani atau menahan diri. Apapun yang bisa kita hasilkan dari
bercocok tanam, itulah yang kita makan. Kita tidak perlu pergi ke pasar untuk
berbelanja, cukup membeli garam krosok sebulan sekali. Paham?”
Sejak saat itu, Banun semakin giat mengolah
tanah untuk menghasilkan apa saja. Berkat keuletan Banun, kini separuh luas
sawah kampung berhasil ia miliki dan mendapat julukan tuan tanah. Pagi tiba,
terdengar ketukan pintu di rumah Banun.
Surti :
“Assalamualaikum…”
Nami :
“Waalaikumussalam, silahkan masuk Bu.”
(Surti masuk
rumah, dan Nami memanggilkan ibunya.)
Banun : “Ada
apa yah Bu Surti?”
Surti : “Saya ngin meminjam uang dua puluh
juta untuk biaya kuliah anak saya. Insyaalloh saya akan mengembalikan uang itu
dalam waktu setengah bulan, lokasi sawah saya dari sini cukup dekat, tinggal
lurus terus, ada pertigaan belok kanan, ada perempatan belok kanan, lurus terus
nanti sampailah di sawah yang ada gubuk merahnya. Nah, disitulah sawah saya.”
Banun : “Baiklah, akan saya ambilkan uangnya. Tunggu
sebentar,”
(Banun mengambil
uang dan memberikan uang itu kepada Bu Surti. Mereka berjabat tangan, dan Bu Surti
meninggalkan rumah Banun.)
Banun berjalan ke sawah dan di jalan
berpapasan dengan Zubaidah dan anaknya, Rustam.
Banun : “Eh
Zubaidah, habis beli kangkung yah?”
Zubaidah : “Iya
Bu.”
Banun : “Seiket kangkung saja beli, kemana sawah
lebar suamimu? Sekarang lagi ditanamin apa? Batu yah? Air di kolam aja kering,
mana bisa batu itu tumbuh.”
(Zubaidah dan Rustam hanya diam .)
Banun : “Ha ha ha… Warisan sawah luas kok bisa
habis. Makanya, jadilah orang tani sejati.”
(Banun kembali
melangkahkan kaki menuju sawah dan disusul Rimah dibelakangnya. Rimah yang lari
dengan membawa bekal sawah untuk maknya tak sengaja menabrak tubuh Rustam)
Rimah : “Maafkan saya, saya tak sengaja,” (membersihkan kaos Rustam)
Rustam : “I.. i..
ia.. tidak apa-apa,” (menampis
tangan Rimah dengan lembut)
Zubaidah : “Sudah, sudah, cepatlah kalian bereskan bekal
untuk maknya Rimah.”
Rustam : “Biar aku saja Bu, yang membersihkanya,” (membereskan bekal makanan)
Rimah : “Tidak, terima kasih. Biar saya saja.”
Rustam : “Tidak Nona, biarkan saya membantu Anda,” (setelah selesai) “Ini Nona, Hati-hati
di jalan,”
(Rimah pergi meninggalkan Rimah dan Zubaidah)
Rustam : “Bu, siapa nama gadis itu? Sungguh cantik
parasnya,”
Zubaidah : “Rimah,”
Rustam : “Oh, nama yang indah”
Zubaidah : “Rustam, mari kita pulang.”
Sawah milik Zubaidah dan Palar memang
semakin habis untuk biaya kuliah Rustam yang kelak menjadi insinyur pertanian.
Suatu hari, Palar pergi kerumah Banun.
Palar : “Assalamualaikum ..”
Banun : “Waalaikumussalam, masuklah Palar.” (dengan senyum sinis)
Palar : “Terima kasih Banun.” (memasuki rumah)
Banun : “Duduklah di sofa empukku, barangkali
saja kau belum pernah merasakan duduk di tempat yang empuk.”
Palar : (duduk)
“Begini Banun, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu”
Banun : “Apa? Kau ingin melamarku lagi? Bukankah
kau sekarang sudah mempunyai isteri, atau jangan-jangan, kau mau pinjam uang
untuk biaya kuliah anak mu? Atau, kau ingin…. “
Palar : “Cukup Banun, dulu aku memang ingin
bersamamu, tapi sekarang sudah berbeda. Jangan kau ungkit-ungkit lagi masalah
itu”
Banun : “Oh oh oh.. apa kau ingin menambah gelar
Banun Kikir ku menjadi sesuatu yang lebih berkesan?”
Palar : “Tidak Banun, maafkan saya”
Banun : (menghela
nafas) “lantas kau mau apa?”
Palar : “Karena sama-sama orang tani, bagaimana
kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?”
Banun : “Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya
calon suami.” (sinis)
Palar : “Keluargamu beruntung bila menerima
Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan
hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi
terpuruk dalam kesusahan,”
Banun : “Maafkan saya, Palar.”
Palar : “Sudahlah, Assalamualaikum..” (meninggalkan Banun)
Banun : “Waalaikumussalam..”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan,
dan tahun berganti tahun. Zaman sudah tidak lagi mempergunakan minyak tanah
sebagai bahan bakar utama. Kini telah berevolusi menjadi gas elpiji. Tapi tidak
bagi Banun, Rimah yang sudah terlalu cape mendengar kata Banun Kikir, ingin
menghapus nama itu. Setiap Jum’at, Banun berkunjung, menjenguk cucu dari
keempat anaknya secara bergiliran.
Rimah : “Mak, Rimah belikan gas elpiji yah. Biar
Mak tidak usah repot-repot membawa dedaunan kelapa kering dari sawah.”
Banun : “Nasi tak terasa nasi bila dimasak
dengan elpiji. Dedaunan kelapa di sawah itu bakal berjatuhan seiring waktu.
Mubadzir bila tidak dimanfaatkan. Lagipula gas elpiji itu mahal, lebih baik
uangnya digunakan untuk membeli sawah lagi.”
Rimah : “Mak mau sampai kapan masak dengan cara
seperti ini?”
Banun : “Mungkin sampai dedaunan kelapa enggan
lagi berjatuhan.”
Rimah : “Aduh, Mak.. Mak.. “ (menghela nafas) “Kalau Mak menerima
pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” (menyesal)
Banun : “Sudahlah Rimah,”
Rimah : “Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa
aku sudah punya calon suami padahal belum, bukan?”
(Banun terdiam)
Rimah : “Bukankah calon menantu Mak calon
insinyur?”
Banun : “Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita
lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu! mak menolak pinangan itu bukan karena Palar
sedang terbelit hutang, tidak pula karena mak sudah jadi tuan tanah, tapi
karena perangai buruk Palar yang dianggap mak sebagai penghinaan pada jalan
hidup orang tani.”
Rimah : “Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak
akan dinamai Banun Kikir!” (Rimah
memalingkan wajah) “Sebentar Mak, Rimah mau ambil hand phone dulu
barangkali suami Rimah sms minta dijemput pulang kerja sama sopir.”
(Sesaat Banun terdiam, ia teringat dengan Palar)
Banun : “Apa benar, Palar begitu bangga punya
anak bertitel insinyur pertanian yang katanya bisa melipatgandakan hasil
pertanian dengan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan
memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual?
Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang
menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang
dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku
orang tani?”
***SELESAI***