Senin, 28 September 2015

puisi galau


Titik Hitam



Ketika jenuh melanda

Apa yang bisa aku perbuat

Mengusir kerumunan kabut tidaklah mudah

Puing-puing air membanjiri pipi

Gelap sunyi terkubung pekat

Jejeritanku tak mampu mengoyak secuilpun

Napas tersendat berat menghembus

Telinga enggan bolong setitikpun

Sungguh langkah kaki tak kunjung lurus

Berputar di tempat, lalat berhinggap

Kucuran hawa dingin dirasa tetangga

Lubang hitam makin merosot


Senin, 14 September 2015

materi novel basa jawa, pangerten, karakteristik unsur intrinsik uga ekstrinsik

materi novel basa jawa, pangerten, karakteristik unsur intrinsik uga ekstrinsik


novel crita ing prosa ing ukuran dawa lan lebar. Novel punika gambaran ing-ambane saka tema sing ditulis liwat crita wong urip karo wong sakubenge. Novel crita sing ngandhani aktor utawa karakter saka wektu enom / cilik, lan banjur tuwuh lawas. Crita gerakane saka siji pemandangan liyane, lan siji panggonan liyane karo wektu cukup dawa. Unsur paling penting ing novel punika konflik. Malah bisa ngandika sing novel punika seri saka sawetara saka konflik sing nggawe serep dalane crito. Novel macem biasane ngemot konflik ngageti utawa dadakan.

Karakteristik novel-novel sing paling penting minangka nderek:

• Duwe alur / plot Komplek. Ing acara saka novel dituduhake kang sesambungan supaya novel bisa wicara ingkang dawa, ngrembakaken masalah bisa cetha, lan ngetokake kang luwih penting.

 • Ing tema novel ora mung siji, nanging tema sampingan . Mulane, novelis bisa ngembangake meh kabeh babagan masalah kang bisa dimetokake.

• Tokoh / karakter ing novel bisa dadi akèh. Ing novel iki, penulis asring nguripake akèh karakter, saben kang diterangake ing lengkap lan utuh.

Unsur novel iki dipérang dadi loro, yaiku unsur unsur intrinsik lan extrinsic. Unsur intrinsik novel punika unsur sing langsung netepake novel lan ana ing novel. Sauntara kuwi, ing unsur extrinsic saka novel punika unsur sing njaba novel. Unsur extrinsic ora langsung bangunan novel

 Unsur intrinsik novel iku minangka nderek:

  • Tema: tema punika ide utawa gagasan ndasari novel dhasar.
  • Alur/plot: dalane cerita
  •  paraga: paraga lan panggonan sesambungan kanggo aktor ing novel.
  •  Sudut pandang: Ing ndeleng amba punika penulis cara novel marang crita utawa titik tampilan saka penulis ing nggawa crita kang. Sudut pandang bisa nggunakake wong pisanan, wong liya utawa wong katelu
  • Latar/setting: latar panggonan, suasana lan wektu crita ing novel.
  •  • Gaya Basa: gaya basa kanggo nggunakake basa dening penulis ing novel.
  •  • Mandat: Mandat pesen sing ana ing novel. Pesen punika umume Wedjangan moral didactic.

Kangge, unsur extrinsic ing novel punika minangka nderek:

• latar mburi novelis budaya

• pendidikan novelis

• Pengalaman novelis





Pengertian, Ciri, Unsur Novel | Novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang panjang dan luas. Novel adalah sebuah uraian mendalam tentang suatu tema yang diungkapkan lewat cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya. Novel adalah sebuah cerita yang menceritakan pelaku-pelaku atau tokoh-tokoh mulai dari waktu muda/kecil, kemudian menjadi tua. Cerita tersebut bergerak dari satu adegan ke adegan lain, dan satu tempat ke tempat yang lain dengan waktu yang cukup panjang. Unsur yang paling menonjol dalam novel adalah konflik. Bahkan dapat dikatakan bahwa novel adalah rangkaian dari beberapa konflik yang membentuk satu jalan cerita. Novel yang menarik biasanya mengandung konflik-konflik yang mengejutkan atau mendadak.

Ciri-ciri novel yang paling utama adalah sebagai berikut:

  • Memiliki alur/plot yang kompleks. Berbagai peristiwa dalam novel ditampilkan saling berkaitan sehingga novel dapat bercerita panjang lebar, membahas persoalan secara luas, dan lebih mendalam.
  • Tema dalam novel tidak hanya satu, tetapi muncul tema-tema sampingan. Oleh karena itu, pengarang novel dapat membahas hampir semua segi persoalan.
  • Tokoh/karakter tokoh dalam novel bisa banyak. Dalam novel, pengarang sering menghidupkan banyak tokoh cerita yang masing-masing digambarkan secara lengkap dan utuh.

Unsur novel dibagi menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik novel adalah unsur yang langsung membangun novel tersebut dan berada di dalam novel tersebut. Sedangkan, unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada di luar novel tersebut. Unsur ekstrinsik tidak berhubungan secara langsung dalam membangun suatu novel. Unsur intrinsik novel antara lain sebagai berikut:

  • Tema: Tema adalah ide dasar atau gagasan pokok yang mendasari novel. 
  • Alur: Alur adalah rangkaian peristiwa demi peristiwa dalam novel.
  • Tokoh: Tokoh serta perwatakan berkaitan dengan pelaku dalam novel.
  • Sudut Pandang: Sudut pandang adalah cara penulis novel menceritakan kisahnya atau segi pandang penulis dalam membawakan cerita. Sudut pandang berkaitan dengan penggunaan kata ganti dalam bercerita oleh penulis. apakah menggunakan kata ganti orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga
  • Latar: Latar adalah tempat dan waktu terjadinya cerita dalam novel.
  • Gaya Bahasa: Gaya bahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa oleh penulis dalam novel tersebut. 
  • Amanat: Amanat adalah pesan yang terkandung dalam novel. Pesan tersebut umumnya merupakan ajaran moral yang bersifat mendidik.

Sedangkan, unsur ekstrinsik dalam novel adalah sebagai berikut:

  • Latar belakang budaya penulis novel
  • Pendidikan penulis novel
  • Pengalaman penulis novel
suber :
http://www.pengertianahli.com/2014/06/pengertian-ciri-unsur-novel.html#
ditranslet di google dan diperbaiki pempublikasi

Jumat, 11 September 2015

naskah drama Banun, cerpen Damhuri Muhammad


Mengonversi Cerpen berjudul Banun karya Damhuri Muhammad menjadi naskah drama



Banun
Naskah : Fina Siliyya

Tokoh :

Banun

Rimah

Palar

            Zubaidah

            Rustam

            Nami

            Surti



          Perempuan ringkih berpunggung melengkung bernama Banun yang terkenal lantaran sifat kikir dan kedengkianya hingga dijuluki Banun Kikir. Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Salah satunya adalah Banun Kikir yang berprofesi sebagai petani. Sore menjelang senja, sosok wanita kuat dengan memikul dedaunan kelapa kering masuk rumah.

Rimah      : “Ini mak, minum dulu.” (menyodorkan segelas air teh manis)

Banun      : “Terima kasih Rimah” (mengambil gelas di tangan Rimah dan meminumnya) “Rimah, tolong ambilkan mak korek api di meja kamar mak.”

Rimah      : “Baik mak.”                     

(Segera Rimah mengambilkan apa yang diperintah maknya.)

          Tangan Banun yang cekatan mengambil daun-daun kelapa kering dan dinyalakanya api dengan mudah. Belum satu menit, api sudah menghangatkan tungku dan mengepulkan asap dapurnya.

Rimah      : “Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?”

Banun      : “Maksud Rimah apa?”

Rimah      : “Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”

Banun      : “Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyang bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani.”

          Mendengar keributan itu, saudara Rimah, Nami yang sedang memarut ubi jalar menghentikan gerak tanganya.

Nami        : “Sudahlah, tak enak kalau tetangga mendengar keributan ini.”

Banun      : “Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”

Nami        : “Petani sejati?”

Banun      : “Dengarlah, kita itu orang tani yang asalnya dari kata tahani atau menahan diri. Apapun yang bisa kita hasilkan dari bercocok tanam, itulah yang kita makan. Kita tidak perlu pergi ke pasar untuk berbelanja, cukup membeli garam krosok sebulan sekali. Paham?”

          Sejak saat itu, Banun semakin giat mengolah tanah untuk menghasilkan apa saja. Berkat keuletan Banun, kini separuh luas sawah kampung berhasil ia miliki dan mendapat julukan tuan tanah. Pagi tiba, terdengar ketukan pintu di rumah Banun.

Surti         : “Assalamualaikum…”

Nami        : “Waalaikumussalam, silahkan masuk Bu.”

(Surti masuk rumah, dan Nami memanggilkan ibunya.)

Banun      : “Ada apa yah Bu Surti?”

Surti         : “Saya ngin meminjam uang dua puluh juta untuk biaya kuliah anak saya. Insyaalloh saya akan mengembalikan uang itu dalam waktu setengah bulan, lokasi sawah saya dari sini cukup dekat, tinggal lurus terus, ada pertigaan belok kanan, ada perempatan belok kanan, lurus terus nanti sampailah di sawah yang ada gubuk merahnya. Nah, disitulah sawah saya.”

Banun      : “Baiklah, akan saya ambilkan uangnya. Tunggu sebentar,”

(Banun mengambil uang dan memberikan uang itu kepada Bu Surti. Mereka berjabat tangan, dan Bu Surti meninggalkan rumah Banun.)

          Banun berjalan ke sawah dan di jalan berpapasan dengan Zubaidah dan anaknya, Rustam.

Banun      : “Eh Zubaidah, habis beli kangkung yah?”

Zubaidah : “Iya Bu.”

Banun      : “Seiket kangkung saja beli, kemana sawah lebar suamimu? Sekarang lagi ditanamin apa? Batu yah? Air di kolam aja kering, mana bisa batu itu tumbuh.”

(Zubaidah dan Rustam hanya diam .)

Banun      : “Ha ha ha… Warisan sawah luas kok bisa habis. Makanya, jadilah orang tani sejati.”

(Banun kembali melangkahkan kaki menuju sawah dan disusul Rimah dibelakangnya. Rimah yang lari dengan membawa bekal sawah untuk maknya tak sengaja menabrak tubuh Rustam)

Rimah      : “Maafkan saya, saya tak sengaja,” (membersihkan kaos Rustam)

Rustam    : “I.. i..  ia.. tidak apa-apa,” (menampis tangan Rimah dengan lembut)

Zubaidah : “Sudah, sudah, cepatlah kalian bereskan bekal untuk maknya Rimah.”

Rustam    : “Biar aku saja Bu, yang membersihkanya,” (membereskan bekal makanan)

Rimah      : “Tidak, terima kasih. Biar saya saja.”

Rustam    : “Tidak Nona, biarkan saya membantu Anda,” (setelah selesai) “Ini Nona, Hati-hati di jalan,”

(Rimah pergi meninggalkan Rimah dan Zubaidah)

Rustam    : “Bu, siapa nama gadis itu? Sungguh cantik parasnya,”

Zubaidah : “Rimah,”

Rustam    : “Oh, nama yang indah”

Zubaidah : “Rustam, mari kita pulang.”

            Sawah milik Zubaidah dan Palar memang semakin habis untuk biaya kuliah Rustam yang kelak menjadi insinyur pertanian. Suatu hari, Palar pergi kerumah Banun.

Palar         : “Assalamualaikum ..”

Banun      : “Waalaikumussalam, masuklah Palar.” (dengan senyum sinis)

Palar         : “Terima kasih Banun.” (memasuki rumah)

Banun      : “Duduklah di sofa empukku, barangkali saja kau belum pernah merasakan duduk di tempat yang empuk.”

Palar         : (duduk) “Begini Banun, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu”

Banun      : “Apa? Kau ingin melamarku lagi? Bukankah kau sekarang sudah mempunyai isteri, atau jangan-jangan, kau mau pinjam uang untuk biaya kuliah anak mu? Atau, kau ingin…. “

Palar         : “Cukup Banun, dulu aku memang ingin bersamamu, tapi sekarang sudah berbeda. Jangan kau ungkit-ungkit lagi masalah itu”

Banun      : “Oh oh oh.. apa kau ingin menambah gelar Banun Kikir ku menjadi sesuatu yang lebih berkesan?”

Palar         : “Tidak Banun, maafkan saya”

Banun      : (menghela nafas) “lantas kau mau apa?”

Palar         : “Karena sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?”

Banun      : “Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami.” (sinis)

Palar         : “Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,”

Banun      : “Maafkan saya, Palar.”

Palar         : “Sudahlah, Assalamualaikum..” (meninggalkan Banun)

Banun      : “Waalaikumussalam..”

          Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Zaman sudah tidak lagi mempergunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama. Kini telah berevolusi menjadi gas elpiji. Tapi tidak bagi Banun, Rimah yang sudah terlalu cape mendengar kata Banun Kikir, ingin menghapus nama itu. Setiap Jum’at, Banun berkunjung, menjenguk cucu dari keempat anaknya secara bergiliran.

Rimah      : “Mak, Rimah belikan gas elpiji yah. Biar Mak tidak usah repot-repot membawa dedaunan kelapa kering dari sawah.”

Banun      : “Nasi tak terasa nasi bila dimasak dengan elpiji. Dedaunan kelapa di sawah itu bakal berjatuhan seiring waktu. Mubadzir bila tidak dimanfaatkan. Lagipula gas elpiji itu mahal, lebih baik uangnya digunakan untuk membeli sawah lagi.”

Rimah      : “Mak mau sampai kapan masak dengan cara seperti ini?”

Banun      : “Mungkin sampai dedaunan kelapa enggan lagi berjatuhan.”

Rimah      : “Aduh, Mak.. Mak.. “ (menghela nafas) “Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” (menyesal)

Banun      : “Sudahlah Rimah,”

Rimah      : “Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami padahal belum, bukan?”

(Banun terdiam)

Rimah      : “Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”

Banun      : “Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu! mak menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena mak sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggap mak sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.”

Rimah      : “Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!” (Rimah memalingkan wajah) “Sebentar Mak, Rimah mau ambil hand phone dulu barangkali suami Rimah sms minta dijemput pulang kerja sama sopir.”

(Sesaat Banun terdiam, ia teringat dengan Palar)

Banun      : “Apa benar, Palar begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian yang katanya bisa melipatgandakan hasil pertanian dengan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani?”





***SELESAI***

Sabtu, 05 September 2015

cerpen Kabar Duka Kain Putih


Kabar Duka Kain Putih

Karya : Fina Siliyya



Rani memang sangat dekat dengan neneknya. Kedekatan itu tergambarkan di setiap sore yang menggelegarkan gelak tawa diantara mereka. Walaupun Rani dan Nenek berbeda rumah, jarak satu kilo meter itu Rani tempuh demi bisa tidur bersama perempuan tua itu. Rani sadar Nenek sudah semakin lemah. Itulah mengapa Rani ingin menemani di kala sulit Nenek untuk menghibur dan membantu.

Desa sejuk masih berselimutkan pohon-pohon nan hijau memang indah. Disela-sela pohon, warna-warni bunga tersenyum dengan riangnya. Penduduk saling berjabat tangan dan mngucapkan salam saat berpapasan. Budaya musyawarah kerap kali dijumpai, seperti halnya dirumah Rani sekarang. Keluarga besar berkumpul, berbicara satu persatu tanpa menyela perkataan yang terucap. Penyakit tua itu semakin  menggerogoti tubuh Nenek. Mereka sepakat untuk merawat Nenek secara bergantian.

Keesokan harinya, Rani meminta izin kepada Ibu untuk menginap di rumah neneknya. Ibu diam dan berpikir panjang. Setelah menghela nafas, Ibu berkata

“Rani, sudahlah. Kau tidur dirumah saja. Disana udah ada bu likmu yang menjaga Nenek” ucapnya dengan halus.

“Aku ingin bersama Nenek Bu, kasian Nenek” suara Rani dengan nada memohon

“Ibu tau Rani, tapi barang kali saja itu malah membuat repot Nenek dan Bu Lik disana. Kau boleh ikut bersama ibu dimalam Minggu,” menghibur Rani. Rani mengangguk. lima hari merupakan waktu yang lama bagi Rani untuk menghitungnya. Bukan apa-apa, dua hari setara dengan empat ratus tiga puluh dua ribu detik. Kekhawatiran Rani semakin menjadi. Desas desus sakit Nenek yang semakin parah terdengar di telinga Rani.

Kamis siang, Rani pulang dari sekolah dengan keadaan yang gelisah. Entah apa yang dipikirkan gadis sebelas tahun itu. Ia duduk di ranjang sambil mengistirahatkan kaki yang habis berjalan dari bangku belajar kerumah. Terdengarlah motor berhenti di depan rumahnya.

“Assalamualaikum…” dengan nada yang paik dan cepat.

“Waalaikumussalam..” Rani menjawab salam dan keluar. “Eh Bu Lik, masuk Bu Lik..”

“Ayah dan Ibu mu mana Ran? nafas Nenek rasanya sudah semakin berat” kata Bu Lik.

“lagi di musola Bu Lik, sebentar aku panggilkan dulu yah, bu Lik  duduk dulu.” Jawab ku dengan sigap.

“tidak Rani, Bu Lik pulang dulu yah kerumah Nenek. Nanti ayah ibumu sebaiknya segera kerumah Nenek.” Bu Lik keluar pintu dan meninggalkan rumah Rani

Kepulangan ayah dan ibu dari musola sugguh Rani tunggu. Segera Rani ceritakan pesan dari Bu Lik untuk ayah dan ibu. Ayah dan Ibu lantas bergegas pergi ke rumah Nenek.  Rani, kakak dan adiknya segera ganti pakean dan menyusul orang tua mereka. Tiba di tempat, mereka dikejutkan dengan kerumunan penduduk yang bergantian mauk ke pintu rumah Nenek. Dengan langkah pasti, mereka masuk lewat pintu belakang. Rumah itu sudah penuh dengan keluarga besar Rani. Rani menyaksikan jasad terakhir Nenek dengan penuh kesedihan. Ibu memeluk Rani dengan penuh kehangatan. Sungguh aneh bagi Rani, menurutnya neneknya itu sedang tidur dan bagaikan sedang tidur. Rani menggoyang-goyangkan tubuh Nenek dengan tanganya. “Nek… Bangun Nek..” ucapnya semakin keras dan histeris.

Ayah dan sanak keluarga segera menyiapkan segala keperluan. Ayah kebagian memandikan, ibu kebagian memakaikan kain putih. Rani dan sanak saudara yang seumuran kebagian membuat karangan bunga untuk di taruh di pemakaman. Semua sudah selesai mengerjakan tugas masing-masing. Mereka semua membawa Nenek ke pusara setelah di shalatkan.

Berjalan beriringan seperti berbaris dalam paskibra dua banjar. Rani berada di barisan depan, agar dapat menyaksikan detik-detik kembalinya nenek ke bumi dengan jelas. Selesai menguburkan, diadakan pengajian dan tahlil setiap ba’da isya berturu-turut selama empat puluh hari. Rani dan keluarga berdo’a dengan khusyu untuk kebaikan Nenek di sisi Tuhan.

Rabu, 02 September 2015

Cerpen ku Kaos Merah


Kaos Merah

            Sore itu, hujan lebat turun dengan menggebu-gebu. Aku cuwek aja didalam kamar sambil membaca buku pelajaran ku. Mata ku yang mulai mengantuk dikejutkan dengan cahaya lampu ku yang padam. Aku masih santai saja dengan kondisi itu. Bagiku ini ketenangan tersendiri, bias menikmati suara hujan diatas kasur empuk dan berguling coklat.

            Aku terus saja mendayu-dayu dalam keheningan senja itu. Ku pandangi segala hiasan yang ada di dalam kamar ku, termasuk boneka merah beruang ku. Semakin ku tatap boneka itu, aku teringat gadis berkaos merah yang kemarin duduk di pinggir trotoar dekat gerbang sekolah ku. Tanganya yang cekatan itu mengoyak sampah, memilah dan memasukkanya kedalam karung yang ia bawa. Aku ingat betul wajah gadis itu, penuh harap dalam senyumnya. Kaos merahnya itu menandakan bahwa ia punya semangat membara dalam jiwanya.

            Entah apa yang ku fikirkan. Aku ingin tau gadis itu lebih dalam. “Besok pagi aku akan datang ke sekolah lebih awal” ujarku dalam hati. Mungkin itu salah satu cara untuk mengisi tanda tanya ku kali ini. Pagi buta aku berangkat, beruntung aku melihat kaos merah itu di empat pembuangan sampah milik sekolah ku. Aku berpura-pura duduk di bawah pohon dengan membaca buku, padahal aku mengamati gadis itu dari jauh. Barangkali saja kalau gads itu tahu malah pergi. Aku terus memandanginya, semakin lama melihat gerak-geriknya semakin membuatku ingin menghampirinya. Ku beranikan diri untuk mendekat dan mngintrogasinya.

“Hei dhe.. sedang apa?” Tanya ku penuh senyum

“sedang mencari kepingan rupiah ka,” membalasnya dengan senyum pula. Aku makin penasaran dengn gadis itu. “nama adhe siapa?” entah kenapa aku ingin mengetahuinya lebih dalam.

“Sita,” jawabnya dengan polos. Aku terus menanyakan latar belakang kenapa gadis itu terus mengorak ark sampah skolah.

            Ku tanyakan segala jenis pertanyaan yang aku sudah siapkan dari kemarin. Satu per satu Sita menjawab pertanyaan ku dengan penuh kejelasan. Akhirnya aku mengerti juga, ternyata Sita itu teman sekelasnya yang sedang belajar menjadi pemulung untuk perlombanya di tingkat Provinsi. Aku tidak menyangka, belajar berteater itu ternyata memerlukan kerj keras yang tinggi bila ingin mendapatkan hasil yang diinginkan. Menurutnya, dengan praktik langsung itu, ia dapat mengetahui dan merasakan bagaimana dalam menjadi seorang pemulung itu. Memang benar-benar butuh pendalaman karakter bila ingin menjadi pemain teater yang hebat.

            Ku langkahkan kaki ku untuk meninggalkan tempat gadis kaos merah itu. Segera aku masuk kelas karena jam pelajaran lima menit lagi dimulai.